Senin, 27 Desember 2010

Sholeh Dalam Keluarga, Tantangan Terberat Para Suami

Dalam konteks ibadah, sholeh merupakan bahasa yang akan kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pada saat seorang yang melakukan amalan-amalan seperti sholat, baca Al-Qur’an, dan puasa. Dalam konteks sosial juga, dapat kita jumpai seperti ketika orang memberikan bantuan terhadap sesamanya, membantu orang yang tertimpa musibah baik untuk lingkungannya maupun di luar lingkungannya. Orang yang sholeh akan banyak kita jumpai dalam kegiatan-kegiatan seperti kerjabakti, santunan anak yatim, atau relawan penanggulangan bencana alam. Tetapi, dalam konteks keluarga, orang yang bagaimana yang dikatakan orang yang sholeh ?
Dalam sebuah keluarga, seorang ayah, suami merupakan imam, pemimpin dalam keluarganya. Seorang ayah atau suami harus pandai untuk menempatkan dirinya sebagaimana layaknya ia sebagai ayah terhadap anaknya, sebagai suami terhadap istrinya. Tetapi cara yang bagaimana yang harus kita lakukan, karena tidak semua orang tahu bagaimana bersikap dalam keluarganya. Karena keberhasilan menjadi pemimpin dalam rumah tangga, bisa menjadi berkembang menjadi pemimpin di dalam suatu masyarakat baik lingkungan di tempatnya tinggal atau lingkungan kerjanya.
Setidaknya ada dua peran yang harus dijalankan seorang kepala keluarga, yaitu sebagai suami dan sebagai ayah bagi anak-anak. Seorang suami harus mampu berperan sebagai imam, teman, bahkan pembantu bagi sang istri. Sebagai Imam, suamilah yang membimbing dan mengarahkan sang istri. Dia harus bisa memberi contoh, dan menjadi kebanggaan keluarga. Kesatuan antara kata dan perbuatan mutlak dalam hal ini. Sebagai teman, seorang suami berarti harus siap menolong, mendengarkan, bahkan sebagai tempat curhat sang istri. Tidak ada lagi rasa canggung, apalagi takut saat istri mengungkapkan isi hatinya. Ini tentu susah, karena semua orang bisa memberi perintah, tetapi hanya sedikit orang yang bisa mendengar. Sedang sebagai pembantu, seorang suami harus paham kondisi dimana istri sudah kerepotan mengurus rumah tangga. Suami tidak merasa canggung saat harus membantu nyuci, nyetrika, ataupun belanja ke pasar. Bahkan saat masakan istri tidak enak sekalipun, suami akan memilih diam, demi menjaga perasaan sang istri.
Terhadap anak-anak, ayah yang sholeh harus mampu berperan sebagai idola, pembimbing, dan teman main mereka. Idola, karena anak kita akan meniru setiap kata dan perbuatan sang ayah. Pembimbing, karena anak-anak belum tahu betul mana yang baik dan mana yang buruk bagi mereka. Kedua peran ini, sebagai idola dan pembimbing, menuntut kepaduan antara kata dan perbuatan. Jika tidak, maka suatu saat anak akan komplain dan balik menyerang kita, apalagi anak-anak sekarang makin kritis. Sedang sebagai teman bermain, seorang ayah harus mampu berpikir dan bertindak layaknya anak-anak. Anak akan menemukan sosok kawan dalam pribadi sang ayah, sehingga dia tidak melulu bermain diluar. Jika seorang ayah mampu memerankan hal-hal diatas, Insya Allah anak yang sholeh bukan impian lagi. Amin Ya Rabbal Alamin.

Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat bagi penulis, dan kita semua sehingga kita makin bertakwa.

Jumat, 24 Desember 2010

Hukumnya Utang Piutang

“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utangnya.”. Dalam hadits ini disebutkan bahwa ada seorang lelaki berkata, : Wahai Rasulullah, apakah engkau melihat bahwa apabila aku gugur di medan pertempuran dalam membela agama Allah maka dosa-dosaku akan diampuni semuanya oleh Allah SWT? Maka Rasulullah saw bersabda, “Ya, jika engkau terbunuh di medan pertempuran dalam membela agama Allah, dan engkau teguh dalam menghadapinya dan tidak melarikan diri.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Apa yang engkau katakan tadi?” Lelaki itu kemudian mengulangi pertanyaannya, dan Rasulullah saw yang mulia mengulangi jawabannya sambil menambahkan, “Kecuali utang, karena sesungguhnya Jibril a.s. berkata kepadaku tentang itu.“.
Bukhari dan yang lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Allah Ta’ala berfirman:
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku, kemudian berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”
Sama halnya dengan membayar hutang, membayar upah atau gaji terhadap orang yang kita pekerjakan sangat penting. Ketika kita tidak membayar upah atau terlambat membayar upah berarti kita sudah berhutang terhadap orang tersebut dan kita telah mendzoliminya. Ibnu Majah telah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan Thabrani meriwayatkan dari Jabi radhiyallahu ‘anhu serta Abu Ya’la juga meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rosulullah SAW bersabda “Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya kering”. Didalam hadits ini rosulullah memerintahkan kita untuk segera membayar upah orang yang kita pekerjakan sesegera mungkin, sampai diibaratkan sebelum keringatnya kering.
Allah memerintahkan kita untuk berbuat adil dan tidak berbuat dzolim kepada orang lain seperti yang tertuaang dalam QS. Al Maidah ayat 8 berfirman : “…dan janganlah sekali kali kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil . Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…”. Dalam surat tersebut kepada kaum atau golongan yang kita benci saja kita tidak boleh berbuat dzolim apalagi kepada kaum/golongan yang tidak kita benci atau bahkan saudara kita.
Allah SWT telah memberikan Islam sebagai petunjuk bagi kita semua, petunjuk mana yang baik dan yang bathil. Islam melalui Alquran dan Hadits memberikan petunjuk bagi kaum muslim bagaimana cara-cara yang benar dalam berkehidupan. Alquran dan Hadits tidak hanya memberi petunjuk dalam hal ritual ibadah saja, tetapi semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara diatur didalamnya, seperti berniaga, perkawinan, berpolitik, hukum kenegaraan, bahkan sampai adab tidur atau adab mandipun diatur dalam Alquran ataupun Hadits.
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah…”(QS Ali Imron : 112)
Rosulullah SAW bersabda : “Aku berwasiat pada kalian agar bertaqwa pada Allah subhanahu wata’ala, mendengarkan perintah dan taat meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak. Siapa pun di antara kalian yang masih hidup, niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Karena itu, berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham. Dan hindarilah hal-hal yang baru, karena semua yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, hadis hasan shahih. Dinukil dari Kitab Arbain Nawawiyah karya Imam Nawawi, hadis ke-28)
Dari 2 hal diatas cukuplah bagi kita untuk selalu berpegang teguh kepada Alquran dan sunnah-sunnah rosul yang tertuang dalam hadits didalam kehidupan kita sehari-hari, bukan mengikuti apa yang menjadi kebiasaan yang ada di masyarakat kita yang kadang bertentangan dengan aturan Islam di Alquran ataupun hadits.
Sumber : Muhammad Amir Rosyid

Kamis, 23 Desember 2010

HUBUNGAN SEKSUAL SUAMI-ISTRI MENURUT TUNTUNAN ISLAM

Sebagaimana diketahui, bahwa seorang Muslim tidak boleh malu untuk  menanyakan  apa  saja  yang  berkaitan  dengan hokum agama, baik yang bersifat umum maupun pribadi. Oleh karena itu, izinkanlah kami mengajukan suatu pertanyaan mengenai    hubungan   seksual   antara   suami-istri   yang
berdasarkan  agama,  yaitu  jika  si  istri  menolak  ajakan suaminya  dengan alasan yang dianggap tidak tepat atau tidak berdasar. Apakah  ada  penetapan  dan  batas-batas  tertentu mengenai  hal  ini,  serta apakah ada petunjuk-petunjuk yang berdasarkan syariat Islam  untuMk  mengatur  hubungan  kedua pasangan, terutama dalam masalah seksual tersebut?
Jawab:


Benar,  kita  tidak  boleh bersikap malu dalam memahami ilmu agama, untuk  menanyakan  sesuatu  hal.  Aisyah  r.a.  telah memuji  wanita  Anshar,  bahwa  mereka tidak dihalangi sifat malu untuk menanyakan   ilmu   agama.   Walaupun   dalam masalah-masalah  yang berkaitan dengan haid, nifas, janabat,dan lain-lainnya, di hadapan umum  ketika  di  masjid,  yang biasanya  dihadiri  oleh orang banyak dan di saat para ulama mengajarkan  masalah-masalah  wudhu,  najasah   (macam-macam najis), mandi janabat, dan sebagainya.
Hal serupa juga terjadi di tempat-tempat pengajian Al-Qur’an dan hadis yang ada hubungannya dengan masalah tersebut, yang bagi  para  ulama  tidak ada jalan lain, kecuali dengan cara menerangkan secara  jelas  mengenai  hukum-hukum  Allah  dan Sunnah   Nabi   saw.   dengan  cara  yang  tidak  mengurangi kehormatan  agama,  kehebatan  masjid  dan  kewibawaan  para ulama.
Hal  itu  sesuai  dengan  apa  yang  dihimbau oleh ahli-ahli pendidikan pada saat ini. Yakni, masalah hubungan ini,  agar diungkapkan secara jelas kepada para pelajar, tanpa ditutupi atau dibesar-besarkan, agar dapat dipahami oleh mereka.
Sebenarnya,  masalah   hubungan   antara   suami-istri   itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka, maka hendaknya memperhatikan dan menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan
kesalahan   dan  kerusakan  terhadap  kelangsungan  hubungan suami-istri. Kesalahan yang  bertumpuk  dapat  mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.
Agama  Islam  dengan  nyata tidak mengabaikan segi-segi dari kehidupan manusia  dan  kehidupan  berkeluarga,  yang  telah diterangkan  tentang  perintah  dan larangannya. Semua telah tercantum  dalam  ajaran-ajaran  Islam,  misalnya   mengenai akhlak,  tabiat,  suluk,  dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).
  1. Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta
ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi saw, yaitu menikah.
Nabi saw. telah menyatakan sebagai berikut:
“Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih  khusyu, kepada Allah daripada kamu, tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”
2.Islam telah menerangkan atas hal-hal kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dengan cara menerima dorongan akan masalah-masalah seksual, bahkan  mengerjakannya dianggap suatu ibadat.
Sebagaimana keterangan Nabi saw.: “Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakuknn pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tida menghitung hal-hal yang baik.”
Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih  agresif,  tidak  memiliki  kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya  wanita  itu  bersikap  pemalu  dan dapat menahan diri. Karenanya   diharuskan  bagi  wanita  menerima  dan  menaati panggilan suami.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
“Jika si istri dipanggil oleh suaminya  karena  perlu,  maka supaya  segera  datang,  walaupun  dia  sedang masak.” (H.r.Tirmidzi, dan dikatakan hadis Hasan).
Dianjurkan oleh Nabi saw.  supaya  si  istri  jangan  sampai menolak   kehendak   suaminya   tanpa   alasan,  yang  dapat menimbulkan  kemarahan  atau  menyebabkannya  menyimpang  kejalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.
Nabi saw. telah bersabda:
“Jika  suami  mengajak  tidur  si  istri  lalu  dia menolak, kemudian  suaminya  marah  kepadanya,  maka  malaikat   akan melaknat dia sampai pagi.” (H.r. Muttafaq Alaih).
Keadaan  yang  demikian  itu  jika  dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih,  berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu,menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah swt.  Adalah Tuhan  bagi  hamba-hambaNya  Yang  Maha  Pemberi  Rezeki dan Hidayat,  dengan  menerima  uzur  hambaNya.  Dan   hendaknyahambaNya juga menerima uzur tersebut.
Selanjutnya,  Islam  telah  melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya  lebih diutamakan  untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa.
Nabi saw. bersabda:
“Dilarang bagi si istri (puasa  sunnah)  sedangkan  suaminya ada, kecuali dengan izinnya.” (H.r. Muttafaq Alaih).
Disamping  dipeliharanya  hak  kaum  laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga  harus  dipelihara dalam  segala  hal.  Nabi  saw.  menyatakan kepada laki-laki(suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.
Beliau bersabda:
“Sesungguhnya bagi  jasadmu  ada  hak  dan  hagi  keluargamu (istrimu) ada hak.”
Abu  Hamid  Al-Ghazali,  ahli fiqih dan tasawuf? dalam kitab hya’ mengenai adab bersetubuh, beliau berkata: “Disunnahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanir- rahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi saw. mengatakan: “Ya Allah,jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku’.”
Rasulullah  saw.  melanjutkan sabdanya, “Jika mendapat anak, maka tidak akan diganggu oleh setan.”
Al-Ghazali berkata, “Dalam  suasana  ini  (akan  bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya; dan  menutup  diri  mereka  dengan  selimut, jangan  telanjang  menyerupai  binatang.  Sang  suami  harus memelihara suasana dan  menyesuaikan  diri,  sehingga  kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas.”
Berkata  Al-Imam  Abu  Abdullah  Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’aad Fie Haadii Khainrul  ‘Ibaad,  mengenai  sunnah Nabi   saw.   dan   keterangannya   dalam  cara  bersetubuh. Selanjutnya Ibnul Qayyim berkata:
Tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu ialah:
  1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah.
  2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan   jika ditahan terus.
  3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.
Ditambah  lagi  mengenai  manfaatnya,   yaitu:   Menundukkan pandangan,  menahan  nafsu,  menguatkan  jiwa dan agar tidak berbuat  serong  bagi  kedua  pasangan.  Nabi   saw.   Telah menyatakan: “Yang  aku  cintai  di  antara  duniamu  adalah  wanita  dan wewangian.”
Selanjutnya Nabi saw. bersabda:
“Wahai para  pemuda!  Barangsiapa  yang  mampu  melaksanakan pernikahan,  maka hendaknya  menikah.  Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan.”
Kemudian   Ibnul   Qayyim   berkata,   “Sebaiknya   sebelum bersetubuh  hendaknya  diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah saw. melakukannya.”
Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam  usaha  mencari jalan  baik  tidak  bersifat konservatif, bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan  atau  pendapat  masa kini.Yang  dapat  disimpulkan  di  sini adalah bahwa sesungguhnya Islam  telah  mengenal  hubungan  seksual   diantara   kedua pasangan,   suami   istri,   yang  telah  diterangkan  dalam Al-Qur’anul  Karim   pada   Surat   Al-Baqarah,   yang   ada hubungannya dengan peraturan keluarga.
Firman Allah swt.: “Dihalalkan  bagi  kamu  pada  malam  hari  puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah  pakaian  bagimu, dan  kamu  pun  adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat  menahan  nafsumu,  karena  itu, Allah  mengampuni  kamu  dan  memberi  maaf  kepadamu.  Maka sekarang campurilah  mereka  dan  ikutilah  apa  yang  telah ditetapkan  Allah  untukmu,  dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang  hitam,  yaitu  fajar. Kemudian,  sempurnakanlah  puasa  itu sampai malam, (tetapi)janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam  masjid.  Itulah  larangan  Allah, maka janganlah kamu mendekatinya …” (Q.s. Al-Baqarah: 187).
Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan  antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu: “Mereka itu adalah  pakaian  bagimu,  dan  kamu  pun  adalah pakaian bagi mereka.” (Q.s. Al-Baqarah 187).
Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah  suatu  kotoran.  Oleh  sebab  itu,  hendaklah   kamu menjauhkan  diri  dari  wanita  di waktu haid; dan janganlahkamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.  Apabila  mereka telah  suci  maka  campurilah  mereka  itu  di  tempat  yang diperintahkan Allah kepadamu.  Sesungguhnya  Allah  menyukai orang-orang  yang  bertobat  dan  menyukai  orang-orang yang menyucikan diri. istri-istrimu adalah (seperti) tanah  tempat  kamu  bercocok tanam,  maka  datangilah  tanah  tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki.  Dan  kerjakanlah (amal  yang  baik)  untuk  dirimu,  dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan  menemuiNya.  Dan berilah  kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Q.s. Al-Baqarah: 222-223).
Maka, semua hadis yang  menafsirkan  bahwa  dijauhinya  yang disebut  pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.
Pada ayat di atas disebutkan:
“Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan  cara bagaimanapun kamu kehendaki.” (Q.s. Al-Baqarah: 223).
Tidak  ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah   dan   undang-undang   atau   peraturannya    dalam Al-Qur’anul  Karim  secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas.
Sumber : Bustamam Ismail on June 11, 2009
dari Buku
—————————————————
FATAWA QARDHAWI, Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Penerbit Risalah Gusti
Cetakan Kedua, 1996
Jln. Ikan Mungging XIII/1
Telp./Fax. (031) 339440
Surabaya 60177

Kamis, 09 Desember 2010

Asmara

Asmara adalah sebuah kata yang sangat menyejukkan buat kawula muda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ditulis, “Asmara mempunyai arti perasaan senang kepada lawan jenis.” Perasaan senang ini tidak kenal apakah ia berwarna hitam, putih, islam, kristen, budha maupun lainnya. Baik itu tingkah lakunya negatif maupun positif selama ia merasa senang maka ia dapat dikatakan lagi kasmaran. Yang kita hadapi saat ini adalah asmara yang dilakukan kawula muda saat ini kadang tidak sesuai dengan syar’i. Banyak kita temukan orang yang berpacaran yg sudah tidak malu lagi untuk menampakkan baik ketika berpelukan maupun berciuman. Bila hal ini disambung dengan jaman jahiliyah yang bisa bermakna sebuah era gelap sebelum Islam atau sebuah tatanan atau aturan menyimpang dari syariat, maka jelas kandungan maknanya adalah hitam atau negatif.

Yang penulis maksud dengan Asmara Jahiliyah adalah hubungan antara dua insan berlainan jenis yang tidak sesuai dengan standar syar’I yang bagiannya ada dua yaitu pacaran atau selingkuh. Yang pertama biasanya digunakan untuk hubungan dua lawan jenis di mana masing-masing belum terikat oleh hubungan pernikahan. Sedangkan yang kedua untuk yang sudah terikat tali pernikahan. Kedua bentuk hubungan di antara lawan jenis ini tergolong Asmara Jahiliyah, sekalipun dalam hubungan tersebut tidak terjadi Zina Akbar, minimal mukadimahnya pasti terwujud, maka dari sini keduanya layak dijuluki dengan Asmara Jahiliyah.

Di kalangan pria sebelum menikah, tidak sedikit dari mereka yang minimal melakukan Asmara Jahiliyah yang pertama alias pacaran. Di awali dengan hubungan perkenalan baik secara langsung maupun lewat media-media modern, email, facebook, chatting, sms dan sebagainya. Secara umum hubungan lewat media biasanya berlanjut dengan “Mudar” alias temu darat, bertemu orangnya dan kalau sesuai dengan incaran biasanya berlanjut dengan ngobrol-ngobrol, jalan-jalan, makan-makan, nonton film dan saling berkunjung, bahkan pada sebagian kalangan langsung ‘nembak’ saat memungkinkan alias berzina.

Bila kedua lawan jenis mengawali pernikahan dengan hubungan semacam di atas dan selanjutnya keduanya tidak bertaubat dan melakukan perbaikan-perbaikan, maka peluang terjadinya ‘hara-huru’ pada rumah tangganya sangat lebar sekali, sehingga perceraian menjadi sesuatu yang amat mudah terjadi dan hanya beberapa bulan setelah tali pernikahan diikatkan. Mau contoh? Lihat saja pernikahan para artis TV dan pilem. Siapa pun yang berakal dan menggunakan akalnya dengan baik, pasti akan menyetujui.

“…Ataukah orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu runtuh ke dalam neraka Jahanam bersamanya…” (At-Taubah: 109).

Seorang laki-laki harus senantiasa melihat dan berhati-hati agar tidak terlibat Asmara Jahiliyah ini. Bila memang berminat untuk menjalin hubungan, maka tempuhlah melalui jalur yang syar’i. Pendamping memang ditentukan oleh Allah, namun manusia bisa berusaha meraihnya dengan berbagai macam jalan yang halal yang tidak menyimpang. Mahligai pernikahan yang suci tidak patut ditempuh dengan cara yang berlumur dosa.

Hal yang sama berlaku untuk seorang wanita, agar tidak menjadi korban musang berbulu ayam, bila dia rela di Asmarai oleh laki-laki secara jahiliyah, maka dia harus rela menerima tiga hal: Pertama, hilangnya kesucian, dan yang kedua resiko bubarnya rumah tangga sangat lebar, ketiga mmpunyai anak di luar nikah, tiga hal pahit yang selayaknya tidak Anda kunyah bahkan menelannya. Wallahu a’lam.

Pelajaran Untuk Manusia Sombong Dari Imam Hasan Al Bashri

Allah SubhanaWaTa’ala menciptakan Nabi Adam alaihisallam dari tanah liat yang lengket, tanah hitam yang bercampur lumpur. Para ahli tafsir berkata “Tanah hitam di sini maksudnya adalah abu-abu dan maksud dari tanah liat yang lengket adalah tanah liat yang melekat seperti lem”

Ketika Allah menciptakan Adam alaihisalam ,Dia membiarkannya dalam wujud tanah liat selama empat puluh hari.

Lalu angin masuk dari mulutnya dan keluar dari duburnya. Sebagian ahli tafsir berkata “Ketika Allah menciptakan Adam alaihi salam, Dia membiarkannya dalam keadaan tanah liat selama empat puluh hari. Suatu ketika setan lewat dan memperhatikannya dari tanah liat yang kering lalu dia meniupnya hingga tiupannya membuat Adam guncang. Dari sini setan mengetahui kalau Adam adalah makhluk yang lemah”

Allah SubhanaWaTa’ala berfirman “Dan Dia menciptakan manusia dalam keadaan lemah” (QS. An Nisa ayat 28)

Allah menciptakan manusia dalam keadaan sangat zalim dan sangat bodoh.

Manusia diciptakan memiliki sifat tergesa gesa. Ini merupakan tabiat dan watak yang sudah tertanam di dalam diri setiap manusia. Akan tetapi jika manusia mau mengatur,mensucikan,dan menyelaraskan dirinya dengan tuntunan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dengan ijin Allah niscaya dia akan menjadi lebih baik.

Akan tetapi seringnya manusia merasa sombong dan lupa dengan asal usulnya.

Berikut sebuah kisah tentang kesombongan seoarang anak manusia.

Ada salah seorang menteri dari Bani Umayyah yang dikenal sombong dan kejam. Dia mempunyai bighal (hewan peranakan kuda dan keledai, sehingga ukurannya pun lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari pada kuda), kuda, pedang dan dia juga memiliki sejumlah pengawal.

Pada suatu hari dia lewat disuatu tempat, sementara seorang Ulama yang masyhur yaitu Imam Hasan Al Bashri rahimahullah sedang duduk duduk. Orang orang pun berdiri karena kedatangannya, kecuali Imam Hasan Al Bashri.

Sang menteri menoleh kepada Al Hasan seraya berkata “Kamu tidak kenal siapa saya?”

Al Hasan berkata “Justru karena saya mengenalmu, saya pun tidak ikut berdiri”

Sang menteri bertanya lagi “Kalau begitu siapa saya?”

Al Hasan berkata “Kamu adalah orang yang keluar dua kali dari tempat keluarnya air kencing dan kamu menahan rasa sakit serta perih. Kesudahanmu akan dikembalikan pada kebusukan yang kotor dan kamu berasal dari setetes air mani yang hina”

Sang Menteri pun terdiam seakan akan ada api yang menyambar mukanya.
Sumber : by : HAS yang dikutip dari Pesan Dari Prof.Dr. Buya Hamka

Pernikahan Beda Agama

Saat ini banyak terjadi kasus pernikahan yang berbeda agama, dimana ketika dia hendak memutuskan menikah, dia hanya melihat pada rupa, harta, jabatan. Kalw pernikahan berbeda agama trjadi pada rakyat biasa, mungkin berita yang disampaikan tidak menjadi perhatian orang ramai. Tetapi bila pernikahan agama itu terjadi pada public figure, hal ini mencerminkan rendahnya kesadaran mereka akan arti agama itu sendiri. Dalam islam telah disebutkan bahwa pernikahan yang berbda agma adalah hukumnya Zinah, dan selama ia melakukan hal tersbut, maka hukumnya haram.
Dalam Surah Al-Baqarah (2) : 221, telh jels diterngkan yaitu :
"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya . Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".

Hal ini telah ditegaskan dalam Keputusan Fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional VII MUI pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama.
Disinilah pentingnya peran serta tdk hanya MUI dan Pemerintah, tetapi juga masyarakat baik dilingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal dsb. Islam adalah agama Universal, agama yang sangat-sangat mempunyai toleransi kepada pemeluk agama lainnya. Akan tetapi bila seorang Hamba Allah telah melanggar perintah dan larangan-Nya, maka azhab neraka jahannam lah yang akan menjadi tempatnya. Sadarlah wahai orang2 yang mengaku bahwa dialah Islam yang sbenar2nya tetapi pada dasarnya dia tidk mengetahui Agama Islam yang sesungguhnya.
Hadist Rasulullah :
Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal : (i) karena hartanya; (ii) karena (asal-usul) keturunannya; (iii) karena kecantikannya; (iv) karena agama. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tangan-mu (Hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a);
Nabi Muhammad SAW telah memberikan wejangan terakhir kalinya ketika beliau menghembuskan nafas terakhirnya, yaitu dengan berpedoman kepada Al-Qur'an dan Sunnahnya, apabila kita keluar dari kedua hal tersebut, maka syafaat yang beliau janjikan tidak akan kita dapatkan.
Jadilah kita sebagai salah satu dari umat Mukmin yang bertakwa kepada Allah SWT dan kelak beliau akan mmberikan syafaatnya, Amin Ya Rabbal Alamin.